Selasa, 28 Mei 2019

Salah Siapa? Mertua or Menantu



Sewaktu membaca postingan mbak Dira Arin alias mama Indri tentang orang ketiga dalam rumah tangga, tiba-tiba saya teringat dengan kejadian beberapa waktu lalu. Hari itu, tepatnya hari jum'at siang, seorang wanita mengenakan daster lusuh dengan menggendong seorang anak perempuan datang mendekat. Wanita itu nampak kelelahan dengan bulir peluh yang membanjiri wajahnya.

Ia mendekat ke depan toko yang ada di samping rumah, lalu berkata, "Mbak, saya numpang duduk, ya." Wanita itu duduk di bangku yang tersedia di teras rumah. Masih tampak di wajahnya rona merah karena sengatan matahari yang begitu terik.

Kami yang penasaran, pun, mencoba bertanya, "Dari mana, mbak? Kayaknya kelelahan banget," ujar keponakanku mewakili kami bertanya.

"Saya dari Banjarbaru, mbak. Mau ke Tunggul Irang," sebut wanita itu pada salah satu nama kampung yang ada di kota Martapura sambil menyeka peluh dan mulai mengipasi anaknya dengan tangan.

"Owh..." Kami membeo serempak.

"Saya berangkat dari Banjarbaru tadi jam 8 pagi, Mbak. Cuma jalan kaki," lanjut wanita itu.

Saya tercengang. "Jalan kaki dari kota Banjarbaru ke kota Martapura? Astaga! Nekat banget wanita ini," pikir saya. Meskipun Jarak tempuh dari kota Banjabaru ke kota Martapura tidak terlalu jauh hanya sekitar  9.9 km atau kurang lebih 15 menit menggunakan kendaraan roda dua, tetap saja terasa jauh apabila berjalan kaki, belum lagi di siang bolong seperti ini, di saat para lelaki tengah melaksanakan sholat jumat.

"Kenapa jalan kaki?" tanya seorang pelanggan yang kebetulan lagi ada di toko.

"Saya barusan kabur dari rumah, Bu. Saya enggak punya uang buat naik angkot."

"Ada masalah apa sampai kabur dari rumah?" Si ibu pelanggan kembali bertanya.

"Saya berantem sama mertua. Kemudian saya diusir dari rumah. Pergi dari rumah saya enggak bawa apa-apa," tuturnya sedih. "Jadi sekarang saya mau ke tempat kakak saya."

"Suami kamu tau?"

Wanita itu menggeleng. "Dia lagi kerja, Bu. Enggak tau apa-apa."

"Minta jemput aja mbak sama saudaranya. Kasian anaknya kepanasan."

"Saya enggak punya handphone, Bu."

"Berapa nomornya, Mbak? Biar saya coba bantu hubungi," tawar keponakan saya.

"Saya enggak hapal, mbak."

Kami terdiam. Sungguh memprihatinkan sekali cerita wanita itu, namun kami tidak bisa berbuat apa-apa. Bisa saja, sih, menawarkan bantuan untuk mengantarkan wanita itu ke rumah saudaranya, namun apa benar yang dia katakan. Bagaimana kalau wanita itu cuma berbohong dan ketika diberikan bantuan dia malah menipu atau tidak merampok sewaktu mengantarnya di jalan. Bukannya kami berprasangka buruk, zaman seperti sekarang ini sangat sulit untuk mempercayai orang, apalagi orang yang tidak dikenal. Bukankah kasus perampokan, begal dan penipuan sudah sering terjadi? Lebih baik mencegah daripada menyesal di belakang, bukan?

Akhirnya wanita itu kembali berjalan setelah kami beri minuman dari toko dan selembar uang untuk ongkos perjalanan.  Sungguh kasihan wanita itu. Entah siapa yang salah dalam pertengkaran yang tengah terjadi. Dari ceritanya, kami tidak bisa menyimpulkan pokok permasalahan yang sebenarnya. Apakah dia yang memulai atau mertuanya? Tiada yang tau kecuali mereka.



#Day(24)
#OneDayOnePost30HRDC
#WritingChallenge30HRDC
#30HariRamadhanDalamCerita
#bianglalahijrah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar