Satu tahun yang lalu, saat asik-asiknya menjelajah di dunia maya tiba-tiba handpone saya berdering. Lantas saja saya langsung berdiri dari depan laptop menuju sebuah lemari yang terletak tak jauh dari meja belajar.
“Ini saya, Afifah,”
jawab suara di seberang sana. “Bisa ketemuan sekarang, engak? Di depot
langganan kita.” Ucapnya sebelum mengakhiri percakapan.
Saya pun langsung
bergegas memutuskan koneksi internet dan mematikan laptop. Setelah selesai
berganti pakaian, saya langsung melajukan motor ke tempat tujuan. Sesampainya
di sana, tampak Afifah tengah menyeruput jus jeruk yang dipesannya dengan
malas-malasan. Saya pun kemudian menghampirinya.
“Halo, Fi. Sudah lama?”
sapa saya sebelum mendaratkan pantat tepat di atas kursi yang ada di depannya.
Dia menengok ke arah
saya sambil tersenyum. “Belum,” jawabnya singkat. “Maaf udah nganggu waktu kamu.”
“Kenapa, ada masalah?”
tanya saya penasaran, sebab wajahnya tampak murung seperti sedang mengalami
masalah berat.
“Saya.. saya lagi
berantem sama suami, gara-gara ipar saya yang kelewatan batas,” jawab Afifah
terbata-bata. Matanya agak memerah menahan air mata agar tidak jatuh menetes.
Ini memang bukan
pertengkaran yang pertama kalinya bagi pernikahan mereka, mengingat pernikahan
mereka adalah hasil perjodohan dari orangtua kedua belah pihak. Padahal pada
saat itu Afifah tengah menjalin hubungan dengan Pram, laki-laki yang menjabat
sebagai ketua osis di sekolah kami sewaktu SMA. Meskipun awal pernikahan mereka
diwarnai dengan perasaan tidak suka, namun lambat laun perasaan Afifah mulai
luluh karena kesabaran dan ketulusan sang suami dalam menghadapi keegoisan
dirinya. Afifah sering kali menemui saya hanya sekedar curhat tentang masalah
yang terjadi dalam rumah tangganya. Sebagai seorang sahabat semenjak SMA, saya
selalu berupaya meluangkan waktu untuk mendengarkan semua curhatannya.
Dia selalu bilang kalau
suaminya itu orang yang jujur dan sangat baik terhadap orang lain. Namun,
akhir-akhir ini kebaikan tersebut seperti momok yang sedikit demi sedikit
membuatnya merasa tak nyaman. Bagaimana tidak? Kalau kebaikan suaminya selalu
dimanfaatkan oleh orang lain, apalagi itu adik iparnya sendiri. Kadang kala ia
merasa suaminya seperti seorang buruh yang senantiasa diperintah sesuka hati.
Istri mana yang tahan melihat suaminya diperlakukan seperti itu. Seandainya
saya diposisi itu, mungkin saya juga akan protes terhadap suami atau bahkan
melabrak adik ipar saya sendiri. Bahkan Afifah pernah cerita, kalau anaknya
yang berumur delapan tahun kadang-kadang merasa jengkel dengan sikap suaminya
itu.
“Bete, Ma! Lihat ayah
diperintah-perintah gitu,” ungkap anaknya di suatu pagi. Pasalnya pagi itu ipar
Afifah meminta suaminya mengantarkan Farhan (anak adik iparnya) pergi ke
sekolah, padahal anaknya sendiri belum berangkat ke sekolah.
“Seperti suami saya
supir pribadi saja,” keluh Afifah yang langsung dapat pelototan dari suaminya.
Meski berat hati, Afifah pun mengikhlaskan suaminya mengantarkan Farhan ke
sekolah, sekalian mengantarkan anaknya juga walau sekolah mereka berjauhan. Suaminya
itu memang tak pernah mengeluh meski sering kali dimintai tolong oleh orang
lain, apalagi bila keluarga sendiri. Hitung-hitung amal, begitulah kerap kali
jawaban dari suaminya bila Afifah sedikit protes atas kebaikan suaminya yang
berlebihan.
Disisi lain, Afifah merasa
sangat bersyukur mempunyai suami yang baik dan penuh kasih sayang kepada istri
dan anaknya, dan hal itu memang tak dapat dipungkirinya. Namun, kadang kebaikan
itulah yang menjadi bumerang dalam rumah tangga mereka. Seperti dua sisi mata
pisau, dimana satu sisi dapat memberikan keuntungan dan di satu sisi dapat
merugikan. Manusia memang tiada yang sempurna, untuk itulah Tuhan menciptakan
manusia untuk hidup berpasangan agar saling melengkapi, melindungi dan
mencintai dalam bahtera rumah tangga.
“Sebaik-baik orang diantara kalian adalah
orang yang paling baik kepada istrinya dan aku adalah orang yang paling baik
kepada istriku. Dan pergulilah mereka (para istri) dengan cara yang baik.” (QS.
An Nisaa :19).