Jumat, 17 Mei 2019

Jangan Berjanji Bila Untuk Diingkari



Saat raga mulai lelah, nutrisi otak kian melemah. Aksara puitis pun tiada bergema, hanya larik-larik tanpa makna yang tergores di selembar kertas kusam. Ya, mungkin malam ini pikiranku sedang berkecamuk. Lelah, ngantuk dan malas menjadi boomerang tersendiri dalam menghadirkan ide. Tak banyak kata yang dapat kutuangkan malam ini. Mungkin hanya celotehan jiwa yang ingin kuungkap, kuutarakan dalam goresan tiada bermakna.

Siang tadi, seperti biasa kuayunkan langkah kaki menuju sebuah sekolah menengah pertama di kotaku. Di bawah sinar matahari yang kian menyengat, aku berdiri dengan sabar menanti angkot berwarna hijau berhenti di hadapanku. Lima menit menunggu, tak satu pun angkot melintas. Baru pada menit ke sepuluh, sebuah angkot melintas dan menghampiri setelah kulambaikan tanganku.

"Pak, muter sampe gerbang pasar?" tanyaku pada sang supir.

"Iya, sampe," balas sang supir.

Aku pun bergegas menaiki angkot itu dan duduk di bangku di samping pintu. Ya, itu adalah tempat favoritku. Selain lebih mudah untuk keluar, ventilasi angin yang masuk jauh lebih besar dari pada area tempar duduk yang lain. Tak berseling lama, beberapa orang penumpang masuk. Mereka terdiri atas 3 orang dewasa dan 2 orang anak-anak yang masih berusia sekitar 7 tahun. Mereka semua mengenakan pakaian santai dan bedak dingin yang menutupi seluruh permukaan wajah mereka. Entah mereka hendak ke mana dengan tujuan apa, aku tak tau. Mereka hanya menyebut kota S sebagai tempat tujuan pemberhentian mereka, yang mana berbeda jalur dengan tujuan yang hendak kudatangi.

Sopir itu mulai menaikkan laju angkotnya setelah memasukkan 5 orang penumpang ke dalam angkot. Padahal, saat aku hanya sendiri di dalam angkot, laju angkot itu sangat pelan sekali. Sampai saat ini aku tidak memilki masalah apapun. Namun, saat di arah belokan di dekat taman, tiba-tiba sopir itu membelokkan arah angkotnya, dan hal itu membuatku bertanya.

"Pak, saat turunnya di gerbang pasar," ungkapku pada sang sopir.

"Iya," ujar sopir itu membalas. "Ini, kan, sudah dekat dengan pasar. Kamu tinggal jalan aja. Tuh, dekat," ujarnya menunjuk halaman taman kota yang jaraknya lumayan jauh dari gerbang pasar.

"Tapi, kan, saya mintanya diturunin di depan gerbang, pak. Kok, jadi di sini, sih. Kan saya jauh kalau mesti jalan kaki lagi."

"Deket, kok. Tuh, pasarnya udah keliatan," balas pak sopir tanpa perasaan bersalah sedikitpun. "Lagian saya sudah muter, enggak bisa balik lagi."

Akhirnya dengan muka yang masam, akupun turun dari angkot. Tak ingin memperpanjang masalah, akupun segera pergi dan berjalan meninggalkan sang supir angkot. Sumpah, saat itu aku kesal sekali. Bukannya Pak Sopir dari awal sudah berjanji untuk mengantarkanku di depan gerbang pasar, kok pas udah nyampe malah diantar di taman kota. Demi rezeki yang tak seberapa, pak sopir berani mengingkari janjinya kepada penumpang sepertiku, dan lebih memprioritaskan 5 orang penumpang lainnya. Miris memang, seandainya pak sopir tak berjanji, mungkin aku tidak akan naik angkotnya. Dan seandainya tak ada 5 orang penumpang tersebut, apakah pak sopir juga akan mengingkari janjinya kepadaku?

Dengan hati kesal aku terus berjalan di tengah terik matahari. Jarak yang lumayan jauh, membuat kondisiku semakin letih apalagi saat itu kondisiku juga sedang tidak fit. Kalau memang tidak mampu menolong orang lain, maka janganlah mempersulit hidup orang lain. Karena doa orang yang tersakiti lebih cepat diterima Allah. Semoga si pak sopir ke depannya bisa menjadi orang yang amanah.

#Day(13)
#OneDayOnePost30HRDC
#WritingChallenge30HRDC
#30HariRamadhanDalamCerita
#bianglalahijrah

3 komentar:

  1. Tukang angkotnya cakep jg y mbak heheheee

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehe itu cuma foto nyomot di google juga mbak

      Hapus
  2. pernah mengalami juga kesel sih tp saya biarin. terserah deh bapaknya turunin lumayan jauh. capek di jalan dah.

    BalasHapus