Rabu, 29 Mei 2019

Pengalaman Ramadhan "Mendadak Rezeki"





Matahari nampak bersembunyi di balik awan kelabu. Rintik hujan mulai membasahi bumi. Aku dan keponakanku sedikit berjalan cepat menuju sebuah warung kecil yang berjejer di samping masjid. Sesampainya di warung, kami mengambil tempat duduk di depan bibi penjual yang dipisah oleh sebuah meja berisi beraneka macam makanan ringan.

“Bi, tes es 2,” pesanku kepada bibi penjual yang kira-kira berusia lima puluh tahun lebih. Tubuhnya sedikit lebih gemuk di banding bibi penjual warung sebelah.

“Bentar ya, Nak,” balas si bibi kepadaku lalu segera mengambil dua buah gelas besar untuk membuat teh es.

“Kamu mau makan apa, bakso atau mi ayam?” Aku bertanya kepada keponakanku yang asik bermain dengan ponselnya.

“Mi ayam kayaknya enak,” balasnya tanpa mengalihkan pandangan dari ponsel.

Aku beranjak dari tempat duduk dan mendekat ke warung penjual mi ayam yang ada di sebelah kiri. Warung itu tampak sibuk karena ada beberapa pembeli yang memesan. Memang di cuaca yang lumayan dingin membuat perut lebih cepat merasa lapar dibanding cuaca yang panas.

“Pak, mi ayam dua porsi,” kataku tepat di samping penjual mi ayam yang sedang memasukkan sawi ke dalam mangkuk. “Antar ke sebelah, ya,” lanjutku.

“Ok, neng,” balas si penjual mengacungkan jempolnya, dan aku pun kembali duduk di warung teh es, di samping keponakanku.

Tak berapa lama pesanan kami datang. Dua gelas teh es dan dua mangkuk mi ayam tersaji di atas meja. Kami pun menikmatinya sambil sesekali ngobrol tentang apa saja. Saat sedang asik mengunyah mi ayam, seorang ibu muda datang dengan menggendong anaknya yang masih berumur sekitar 3 tahun.

“Bi, saya beli susu dua botol, air mineral satu botol dan cemilan ini,” pinta ibu muda itu kepada bibi penjual sambil menunjuk beberapa camilan yang ingin dibelinya.

Dengan sigap si bibi penjual meletakkan 2 botol susu dan 1 botol air mineral di atas meja, di dekatku. Si ibu muda nampak kewalahan memasukkan camilan yang dibelinya ke dalam kantung plastik karena sedang menggendong anaknya. Entah kenapa tiba-tiba saja tanganku bergerak mengambil camilan dan susu botol yang berserakan di atas meja ke dalam kantung plastik hitam yang diberikan bibi penjual kepada ibu muda tersebut. Ibu muda tersebut menoleh kepadaku dan menatap heran, mungkin dalam hati dia mengira aku sedang mengambil belanjaannya. Ibu muda itu hanya diam memperhatikan sampai aku selesai memasukkan semuanya ke dalam kantung plastik. Setelah rampung, kantung plastik tersebut kuserahkan kepadanya.

Ibu muda itu menerima kantung yang kuserahkan dan tersenyum. “Terima kasih ya, Dek,” ucapnya sungguh-sungguh. Kemudian ia menyerahkan uang lima puluh ribu kepada si penjual.

“Totalnya tiga puluh lima ribu,” kata si penjual menerima uang itu.

“Kembaliannya untuk bayar makanan mereka saja.” Ibu muda itu menoleh kepadaku.

“Enggak usah, Bu,” tolakku halus. “Kami sudah membayarnya,” lanjutku.

“Enggak apa-apa, dek. Terima saja,” ujar Ibu muda itu kemudian melangkah meninggalkan warung.

Aku hanya bengong menatap kepergiannya. Sungguh aku melakukannya memang karena aku ingin, tidak ada maksud apa-apa. Tidak diberi imbalan pun tak mengapa. Akan tetapi ibu muda itu telah pergi menjauh.

“Kembaliannya buat bibi saja.” Aku berucap.

“Jangan,” tolak bibi penjual. “Ini rezeki kalian, tidak boleh ditolak,” katanya lagi. Bibi penjual pun memberikan uang kembalian tersebut kepadaku.

“Terima kasih, Bi,” ucapku kemudian beranjak dari warung setelah kami selesai makan. Rezeki memang tidak pernah bisa ditebak. Dia datang tidak disangka dan pergi juga bisa tidak terduga, dan hari ini aku mendadak dapat rezeki dari orang yang tak kukenal sama sekali.




#Day(25)
#OneDayOnePost30HRDC
#WritingChallenge30HRDC
#30HariRamadhanDalamCerita
#bianglalahijrah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar