Jumat, 04 Oktober 2019

Tidak Perlu Tobat! Kiamat Masih Lama.



Masih terekam jelas di ingatan kala burung-burung mengepakkan sayapnya meninggalkan daratan hijau yang mulai terbelah. Gedung-gedung pencakar langit pun seolah ikut ambuk tersedot ke dalam kubangan tanah. Sungguh pemandangan mengerikan yang menjadi maha karya Tuhan kala merenggut dunia dan seisinya. Perkara ini tak sanggup dibayangkan apalagi dirasakan oleh makhluk kecil seperti Pak Sumanto yang sedang duduk di pekarangan rumahnya.

"Lagi ngapain, Pak? Tumben bengong sendirian," sapa Bu Lastri, istri Pak Sumanto.

"Cuma lagi ngebayangin sesuatu, Buk," balasnya masih menatap langit bertabur bintang.

"Awas aja kalau berani ngebayangin Juminten, pembantu Pak Sopar itu." kata Bu Lastri galak.

"Ibu ini ngawur. Bapak cuma lagi ngebayangin film Kiamat 2012 kemarin yang sempat viral itu loh, Buk. Bukan si Juminten janda bahenol itu."

"Siapa tau gitu, Pak. Namanya juga lelaki." Bu Lastri mendekati suaminya lalu duduk lesehan di sampingnya. "Emang kenapa sama film itu, Pak?"

"Cuma ngebayangin gimana kalau kiamat sungguhan. Pasti bakal lebih mengerikan lagi. Gunung meletus, tanah terbelah dua, lautan berguncang dan membuncahkan seluruh isinya. Pada hari itu manusia lari ke sana ke mari mencari tempat yang aman. Tapi sayang,  di sudut manapun dan tepi apapun jua tidak ada tempat yang aman yang luput dari pandangan Tuhan. Bukannya mengerikan kalau misal Ibu lagi kondangan terus tiba-tiba terjadi kiamat. Susah loh Buk lari-lari pake kebaya."

"Duh si Bapak jangan nakut-nakutin gitu, dong. Ibu kan jadi takut, lagian kiamat juga masih lama."

"Nah, ini dia," kata Pak Sumanto bersemangat membuat Bu Lastri yang duduk di sampingnya terpekik kaget.

"Jangan ngagetin dong, Pak."

"Masa gitu aja kaget."

"Namanya juga kaget. Lagian kenapa Bapak semangat gitu."

"Gini Buk, seminggu yang lalu, Bapak juga denger Pak Hairuddin ngomong kayak Ibu barusan. Kata beliau ngapain tobat sekarang, toh kiamat masih lama," kenang Pak Sumanto mengingat pertemuannya dengan Pak Hairuddin yang saat itu juga ikut acara pelantikan Kepala Desa.

Pak Hairuddin yang memang tergolong anggota Dewan, sengaja berhadir untuk menyaksikan acara pelantikan Kepala Desa tempat tinggalnya. Lelaki berjas hitam itu dengan angkuh mengatakan bahwa dirinya enggan bertobat saat salah satu rekannya bertanya tentang uang suap yang ia terima.


  • Ngapain tobat sekarang, toh kiamat masih lama


Kira-kira begitulah kata-kata yang sempat tertangkap oleh gendang telinga Pak Sumanto.

"Tapi Ibu tau apa yang terjadi sama Pak Hairuddin sekarang?"

Bu Lastri menggeleng kuat. Dari pancaran matanya bisa dipastikan Bu Lastri sedang cemas dan was-was.

"Memang beliau kenapa, Pak?

"Selang dua hari Bapak ketemu beliau, beliau dikabarkan meninggal dunia. Beliau ditemukan tewas di sebuah hotel bintang lima bersama seorang wanita. Dari desas-desus yang Bapak dengar, Pak Hairuddin tewas seusai pesta sabu dengan cewek yang katanya pelakor. Entah itu benar atau tidak masih diselidiki oleh polisi," jelas Pak Sumanto.

"Naudzubillah min dzalik, Bapak jangan ngedoain Ibu dong."

"Lah, yang ngedoain ibu siapa? Wong Bapak cuma cerita kalau Pak Hairuddin meninggal dunia."

"Tapi kan omongan Ibu tadi mirip omongan beliau sebelum meninggal. Ibu takut, Pak," rengek Bu Lastri bergelayut manja di lengan suaminya.

"Hahaha ... Ibu ini ada-ada aja. Urusan mati itu udah diatur Tuhan, Buk. Nggak perlu takut, semuanya pasti bakal ngerasain."

"Iya, Pak. Wajar aja kan kalau takut."

"Yah, namanya juga manusia, wajarlah kalau takut. Setidaknya sebelum mati kita bertaubat dulu, jangan nunggu kiamat baru tobat. Nah, kalau kematian yang duluan menjemput gimana?"

"Ya nggak sempat, Pak."

"Nah, itu Ibu tau. Yuk kita masuk. Bapak dari tadi digigitan nyamuk terus," ajak Pak Sumanto kemudian berdiri.

"Enak mana digigit nyamuk sama digigit Ibu, Pak."

Pak Sumanto diam beberapa detik lalu berkata, "Kayaknya lebih enak digigit Juminten."

"BAPAKKK!!" teriak Bu Lastri mendengar jawaban Pak Sumanto yang kini sedang berlari kencang memasuki rumah sambil terbahak-bahak.

***