Senin, 16 Desember 2013

Dua Sisi Mata Pisau


Satu tahun yang lalu, saat asik-asiknya menjelajah di dunia maya tiba-tiba handpone saya berdering. Lantas saja saya langsung berdiri dari depan laptop menuju sebuah lemari yang terletak tak jauh dari meja belajar.
“Halo..” jawab saya, setelah menekan tombol berwarna hijau yang tertera di layar handpone.
“Ini saya, Afifah,” jawab suara di seberang sana. “Bisa ketemuan sekarang, engak? Di depot langganan kita.” Ucapnya sebelum mengakhiri percakapan.
Saya pun langsung bergegas memutuskan koneksi internet dan mematikan laptop. Setelah selesai berganti pakaian, saya langsung melajukan motor ke tempat tujuan. Sesampainya di sana, tampak Afifah tengah menyeruput jus jeruk yang dipesannya dengan malas-malasan. Saya pun kemudian menghampirinya.
“Halo, Fi. Sudah lama?” sapa saya sebelum mendaratkan pantat tepat di atas kursi yang ada di depannya.
Dia menengok ke arah saya sambil tersenyum. “Belum,” jawabnya singkat. “Maaf udah nganggu waktu kamu.”
“Kenapa, ada masalah?” tanya saya penasaran, sebab wajahnya tampak murung seperti sedang mengalami masalah berat.
“Saya.. saya lagi berantem sama suami, gara-gara ipar saya yang kelewatan batas,” jawab Afifah terbata-bata. Matanya agak memerah menahan air mata agar tidak jatuh menetes.
Ini memang bukan pertengkaran yang pertama kalinya bagi pernikahan mereka, mengingat pernikahan mereka adalah hasil perjodohan dari orangtua kedua belah pihak. Padahal pada saat itu Afifah tengah menjalin hubungan dengan Pram, laki-laki yang menjabat sebagai ketua osis di sekolah kami sewaktu SMA. Meskipun awal pernikahan mereka diwarnai dengan perasaan tidak suka, namun lambat laun perasaan Afifah mulai luluh karena kesabaran dan ketulusan sang suami dalam menghadapi keegoisan dirinya. Afifah sering kali menemui saya hanya sekedar curhat tentang masalah yang terjadi dalam rumah tangganya. Sebagai seorang sahabat semenjak SMA, saya selalu berupaya meluangkan waktu untuk mendengarkan semua curhatannya.
Dia selalu bilang kalau suaminya itu orang yang jujur dan sangat baik terhadap orang lain. Namun, akhir-akhir ini kebaikan tersebut seperti momok yang sedikit demi sedikit membuatnya merasa tak nyaman. Bagaimana tidak? Kalau kebaikan suaminya selalu dimanfaatkan oleh orang lain, apalagi itu adik iparnya sendiri. Kadang kala ia merasa suaminya seperti seorang buruh yang senantiasa diperintah sesuka hati. Istri mana yang tahan melihat suaminya diperlakukan seperti itu. Seandainya saya diposisi itu, mungkin saya juga akan protes terhadap suami atau bahkan melabrak adik ipar saya sendiri. Bahkan Afifah pernah cerita, kalau anaknya yang berumur delapan tahun kadang-kadang merasa jengkel dengan sikap suaminya itu.
“Bete, Ma! Lihat ayah diperintah-perintah gitu,” ungkap anaknya di suatu pagi. Pasalnya pagi itu ipar Afifah meminta suaminya mengantarkan Farhan (anak adik iparnya) pergi ke sekolah, padahal anaknya sendiri belum berangkat ke sekolah.
“Seperti suami saya supir pribadi saja,” keluh Afifah yang langsung dapat pelototan dari suaminya. Meski berat hati, Afifah pun mengikhlaskan suaminya mengantarkan Farhan ke sekolah, sekalian mengantarkan anaknya juga walau sekolah mereka berjauhan. Suaminya itu memang tak pernah mengeluh meski sering kali dimintai tolong oleh orang lain, apalagi bila keluarga sendiri. Hitung-hitung amal, begitulah kerap kali jawaban dari suaminya bila Afifah sedikit protes atas kebaikan suaminya yang berlebihan.
Disisi lain, Afifah merasa sangat bersyukur mempunyai suami yang baik dan penuh kasih sayang kepada istri dan anaknya, dan hal itu memang tak dapat dipungkirinya. Namun, kadang kebaikan itulah yang menjadi bumerang dalam rumah tangga mereka. Seperti dua sisi mata pisau, dimana satu sisi dapat memberikan keuntungan dan di satu sisi dapat merugikan. Manusia memang tiada yang sempurna, untuk itulah Tuhan menciptakan manusia untuk hidup berpasangan agar saling melengkapi, melindungi dan mencintai dalam bahtera rumah tangga.

 “Sebaik-baik orang diantara kalian adalah orang yang paling baik kepada istrinya dan aku adalah orang yang paling baik kepada istriku. Dan pergulilah mereka (para istri) dengan cara yang baik.” (QS. An Nisaa :19).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar