BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada
tahun 30 Hijrih atau 651 Masehi, hanya berselang sekitar 20 tahun dari wafatnya
Rasulullah SAW, Khalifah Utsman ibn Affan RA mengirim delegasi ke Cina untuk
memperkenalkan Daulah Islam yang belum lama berdiri. Dalam perjalanan yang
memakan waktu empat tahun ini, para utusan Utsman ternyata sempat singgah di
Kepulauan Nusantara. Beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun 674 M, Dinasti
Umayyah telah mendirikan pangkalan dagang di pantai barat Sumatera. Inilah perkenalan
pertama penduduk Indonesia dengan Islam. Sejak itu para pelaut dan pedagang
Muslim terus berdatangan, abad demi abad. Mereka membeli hasil bumi dari negeri
nan hijau ini sambil berdakwah.
Dan
hal inilah yang melatarbalakangi masuknya Islam ke Indonesia. Masuknya Islam ke
Indonesia melalui bermacam-macam cara, ada yang melalui perdagangan,
sosial,pengajaran, seni dll. Dalam makalah ini akan di bahas lebih mendalam
mengenai sejarah mauknya Islam ke Indonesia melalui jalur perdagangan.
B. Tujuan
Tujuan pembuatan
makalah ini ialah untuk mengetahui sejarah masuknyaAgama Islam ke Indonesia
melalui jalur Perdagangan.
C. Rumusan Masalah
Yang menjadi rumusan masalah dalam
makalah ini ialah :
1. Bagaimana
sejarah masuknya Agama Islam di Indonesia?
2. Bagaimana awal mula masuknya Agama Islam di
Indonesia melalui jalur Perdagangan?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah
Masuknya Agama Islam di Indonesia
Di
lihat dari proses masuk dan berkembangnya agama Islam di Indonesia, ada tiga
teori yang berkembang. Teori Gujarat, teori Makkah, dan teori Persia (Ahmad
Mansur, 1996). Ketiga teori tersebut, saling mengemukakan perspektif kapan
masuknya Islam, asal negara, penyebar atau pembawa Islam ke Nusantara.
1. Teori Mekah
Teori
Mekah mengatakan bahwa proses masuknya Islam ke Indonesia adalah langsung dari
Mekah atau Arab. Proses ini berlangsung pada abad pertama Hijriah atau abad
ke-7 M. Tokoh yang memperkenalkan teori ini adalah Haji Abdul Karim Amrullah
atau HAMKA, salah seorang ulama sekaligus sastrawan Indonesia. Hamka
mengemukakan pendapatnya ini pada tahun 1958, saat orasi yang disampaikan pada
dies natalis Perguruan Tinggi Islam Negeri (PTIN) di Yogyakarta. Ia menolak
seluruh anggapan para sarjana Barat yang mengemukakan bahwa Islam datang ke
Indonesia tidak langsung dari Arab. Bahan argumentasi yang dijadikan bahan
rujukan HAMKA adalah sumber lokal Indonesia dan sumber Arab.
Menurutnya,
motivasi awal kedatangan orang Arab tidak dilandasi oleh nilai nilai ekonomi,
melainkan didorong oleh motivasi spirit penyebaran agama Islam. Dalam pandangan
Hamka, jalur perdagangan antara Indonesia dengan Arab telah berlangsung jauh
sebelum tarikh masehi.
Dalam
hal ini, teori HAMKA merupakan sanggahan terhadap Teori Gujarat yang banyak
kelemahan. Ia malah curiga terhadap prasangka-prasangka penulis orientalis
Barat yang cenderung memojokkan Islam di Indonesia. Penulis Barat, kata HAMKA,
melakukan upaya yang sangat sistematik untuk menghilangkan keyakinan
negeri-negeri Melayu tentang hubungan rohani yang mesra antara mereka dengan
tanah Arab sebagai sumber utama Islam di Indonesia dalam menimba ilmu agama.
Dalam pandangan HAMKA, orang-orang Islam di Indonesia mendapatkan Islam dari
orang- orang pertama (orang Arab), bukan dari hanya sekadar perdagangan.
Pandangan HAMKA ini hampir sama dengan Teori Sufi yang diungkapkan oleh A.H.
Johns yang mengatakan bahwa para musafirlah (kaum pengembara) yang telah
melakukan islamisasi awal di Indonesia. Kaum Sufi biasanya mengembara dari satu
tempat ke tempat lainnya untuk mendirikan kumpulan atau perguruan tarekat.
2. Teori Gujarat
Teori
Gujarat mengatakan bahwa proses kedatangan Islam ke Indonesia berasal dari
Gujarat pada abad ke-7 H atau abad ke-13 M. Gujarat ini terletak di India
bagain barat, berdekaran dengan Laut Arab. Tokoh yang menyosialisasikan teori
ini kebanyakan adalah sarjana dari Belanda. Sarjana pertama yang mengemukakan
teori ini adalah J. Pijnapel dari Universitas Leiden pada abad ke 19.
Menurutnya, orang-orang Arab bermahzab Syafei telah bermukim di Gujarat dan
Malabar sejak awal Hijriyyah (abad ke7 Masehi), namun yang menyebarkan Islam ke
Indonesia menurut Pijnapel bukanlah dari orang Arab langsung, melainkan
pedagang Gujarat yang telah memeluk Islam dan berdagang ke dunia timur,
termasuk Indonesia. Dalam perkembangan selanju
tnya, teori Pijnapel ini diamini dan disebarkan oleh seorang orientalis
terkemuka Belanda, Snouck Hurgronje. Menurutnya, Islam telah lebih dulu
berkembang di kota-kota pelabuhan Anak Benua India. Orang-orang Gujarat telah
lebih awal membuka hubungan dagang dengan Indonesia dibanding dengan pedagang
Arab. Dalam pandangan Hurgronje, kedatangan orang Arab terjadi pada masa
berikutnya. Orang-orang Arab yang datang ini kebanyakan adalah keturunan Nabi
Muhammad yang menggunakan gelar “sayid” atau “syarif ” di di depan namanya.
Teori
Gujarat kemudian juga dikembangkan oleh J.P. Moquetta (1912) yang memberikan
argumentasi dengan batu nisan Sultan Malik Al-Saleh yang wafat pada tanggal 17
Dzulhijjah 831 H/1297 M di Pasai, Aceh. Menurutnya, batu nisan di Pasai dan
makam Maulanan Malik Ibrahim yang wafat tahun 1419 di Gresik, Jawa Timur,
memiliki bentuk yang sama dengan nisan yang terdapat di Kambay, Gujarat.
Moquetta akhirnya berkesimpulan bahwa batu nisan tersebut diimpor dari Gujarat,
atau setidaknya dibuat oleh orang Gujarat atau orang Indonesia yang telah
belajar kaligrafi khas Gujarat. Alasan lainnya adalah kesamaan mahzab Syafei
yang di anut masyarakat muslim di Gujarat dan Indonesia.
3. Teori Persia
Teori
Persia mengatakan bahwa proses kedatangan Islam ke Indonesia berasal dari
daerah Persia atau Parsi (kini Iran). Pencetus dari teori ini adalah Hoesein
Djajadiningrat, sejarawan asal Banten. Dalam memberikan argumentasinya, Hoesein
lebih menitikberatkan analisisnya pada kesamaan budaya dan tradisi yang
berkembang antara masyarakat Parsi dan Indonesia.
Tradisi
tersebut antara lain: tradisi merayakan 10 Muharram atau Asyuro sebagai hari
suci kaum Syiah atas kematian Husein bin Ali, cucu Nabi Muhammad, seperti yang
berkembang dalam tradisi tabut di Pariaman di Sumatera Barat. Istilah “tabut”
(keranda) diambil dari bahasa Arab yang ditranslasi melalui bahasa Parsi.
Tradisi lain adalah ajaran mistik yang banyak kesamaan, misalnya antara ajaran
Syekh Siti Jenar dari Jawa Tengah dengan ajaran sufi Al-Hallaj dari Persia.
Bukan kebetulan, keduanya mati dihukum oleh penguasa setempat karena
ajaran-ajarannya dinilai bertentangan dengan ketauhidan Islam (murtad) dan
membahayakan stabilitas politik dan sosial. Alasan lain yang dikemukakan
Hoesein yang sejalan dengan teori Moquetta, yaitu ada kesamaan seni kaligrafi
pahat pada batu-batu nisan yang dipakai di kuburan Islam awal di Indonesia.
Kesamaan lain adalah bahwa umat Islam Indonesia menganut mahzab Syafei, sama
seperti kebanyak muslim di Iran.
B. Awal Mula Sejarah Masuknya Agama Islam
Melalui Jalur Perdagangan
Sumber-sumber tertulis (sejarah) yang merupakan catatan
harian dari orang-orang Tionghoa, Arab, India, dan Persia menginformasikan pada
kita bahwa tumbuh dan berkembangnya pelayaran dan perdagangan melalui laut
antara Teluk Persia dengan Tiongkok sejak abad ke-7 Masehi atau abad ke-1
Hijriah, disebabkan karena dorongan pertumbuhan dan perkembangan
imporium-imporium besar di ujung barat dan ujung timur benua Asia. Di ujung
barat terdapat emporium Muslim di bawah kekuasaan Khalifah Bani Umayyah
(660-749 Masehi) kemudian Bani Abbasiyah (750-870 Masehi). Di ujung timur Asia
terdapat kekaisaran Tiongkok di bawah kekuasaan Dinasti T‘ang (618-907 Masehi).
Kedua emporium itu mungkin yang mendorong majunya pelayaran dan perdagangan
Asia, tetapi jangan dilupakan peranan Śrīwijaya sebagai sebuah emporium yang
menguasai Selat Melaka pada abad ke-7-11 Masehi. Emporium ini merupakan
kerajaan maritim yang menitik beratkan pada pengembangan pelayaran dan
perdagangan .
Muatan kapal yang tenggelam di perairan Cirebon dapat menunjukkan
asalnya, genta, ujung tongkat pendeta, wajra, dan arca mungkin dari India.
Benda-benda ini merupakan alat-alat upacara yang dimiliki oleh kelompok pemeluk
agama Buddha. Nama Persia yang sekarang disebut Iran, menurut catatan harian
Tionghoa adalah Po-sse atau Po-ssu yang biasa diidentifikasikan atau dikaitkan
dengan kapal-kapal Persia, dan sering pula diceriterakan sama-sama dengan
sebutan Ta-shih atau Ta-shih K‘uo yang biasa diidentifikasikan dengan Arab.
Po-sse dapat juga dimaksud¬kan dengan orang-orang Persia yaitu orang-orang
Zoroaster yang berbicara dalam bahasa Persi –orang-orang Muslim asli Iran—yang
dapat pula digolongkan pada orang-orang yang disebut Ta-shih atau orang-orang
Arab. Orang Zoroaster dikenal oleh orang Arab sebagai orang Majus yang
merupakan mayoritas penduduk Iran setelah peng Islaman.
Bukti-bukti arkeologis yang mengindikasikan kehadiran
pedagang Po-sse di Kehadiran orang-orang Po-ssu bersama-sama dengan orang-orang
Ta-shih di bandar-bandar sepanjang tepian Selat Melaka, pantai barat Sumatera,
dan pantai timur Semenanjung Tanah Melayu sampai ke pesisir Laut Tiongkok
Selatan diketahui sejak abad ke-7 Masehi atau abad ke-1 Hijriah. Mereka dikenal
sebagai pedagang dan pelaut ulung
Sebuah catatan harian Tionghoa yang meceriterakan
perjalanan pendeta Buddha I-tsing tahun 671 Masehi dengan menum¬pang kapal
Po-sse dari Kanton ke arah selatan, yaitu ke Fo-shih (Śrīwijaya). Catatan
harian itu mengindikasikan kehadiran orang-orang Persia di bandar-bandar di
pesisir laut Tiongkok Selatan dan Nusantara. Kemudian pada tahun 717 Masehi
diberitakan pula tentang kapal-kapal India yang berlayar dari Srilanka ke
Śrīwijaya dengan diiringi 35 kapal Po-sse. Tetapi pada tahun 720 Masehi kembali
lagi ke Kanton karena kebanyakan dari kapal-kapal tersebut mengalami kerusakan.
Hubungan pelayaran dan perdagangan antara bangsa Arab,
Persia, dan Śrīwijaya rupa-rupanya dibarengi dengan hubungan persahabatan di
antara kerajaan-kerajaan di kawasan yang berhubungan dagang. Hal tersebut dapat
dibuktikan dengan adanya beberapa surat dari Mahārāja Śrīwijaya yang
dikirim¬kan melalui utusan kepada Khalifah Umar ibn ‘Abd. Al-Aziz (717-720
Masehi). Isi surat tersebut antara lain tentang pemberian hadiah sebagai tanda
persahabatan.
Nusantara (Śrīwijaya dan Mālayu) adalah ditemukannya
artefak dari gelas dan kaca berbentuk vas, botol, jambangan dll di Situs Barus
(pantai barat Sumatera Utara) dan situs-situs di pantai timur Jambi (Muara
Jambi, Muara Sabak, Lambur). Barang-barang tersebut merupakan komoditi penting
yang didatang¬kan dari Persia atau Timur Tengah dengan pelabuhan-pelabuhannya
antara lain Siraf, Musqat, Basra, Kufah, Wasit, al-Ubulla, Kish, dan Oman. Dari
Nusantara para pedagang tersebut membawa hasil bumi dan hasil hutan. Hasil
hutan yang sangat digemari pada masa itu adalah kemenyan dan kapur barus.
Hubungan pelayaran dan perdagangan yang kemudian
dilanjutkan dengan hubungan politik, pada masa yang kemudian menimbulkan proses
islamisasi. Dari proses islamisasi ini pada abad ke-13 Masehi kemudian muncul
kerajaan Islam Samudera Pasai dengan sultannya yang pertama adalah Malik
as-Saleh yang mangkat pada tahun 1297 Masehi. Menurut kitab Sejarah Melayu,
Hikayat Raja-raja Pasai, dan catatan harian Marco Polo yang singgah di Peurlak
tahun 1292 Masehi, Samudera Pasai bukan hanya kerajaan Islam pertama di
Nusan¬tara, tetapi juga di Asia Tenggara. Kehadiran kerajaan Islam ini semakin
mempererat hubungan antara Sumatera dan negara-negara di Arab dan Persia.
Pada pertengahan abad ke-14 Masehi Ibn Batuta singgah di
Pasai yang pada waktu itu diperintah oleh Sultan Malik al-Zahir. Dalam catatan
hariannya dise¬but¬kan bahwa Sultan adalah seorang penganut Islam yang taat dan
ia dikelilingi oleh para ulama dan dua orang Persia yang terkenal, yaitu Qadi
Sharif Amir Sayyid dari Shiraz dan Taj ad-Din dari Isfahan. Ahli-ahli tasawwuf
atau kaum sufi yang datang ke Samudera Pasai dan juga ke Melaka dimana para
sultan menyukai ajaran “manusia sempurna/Insan al-Kamil” mungkin sekali dari
Persia.
Beberapa ratus tahun sebelum Kesultanan Samudera Pasai,
di wilayah Aceh sudah ada kerajaan yang bercorak Islam, yaitu Kerajaan Peurlak.
Kerajaan ini berdiri pada tahun 225 Hijriah atau 845 Masehi dengan rajanya
Sultan Sayid Maulana Abdal-Aziz Syah keturunan Arab-Quraisy yang berpaham
Syi‘ah.
Tingginya intensitas hubungan perdagangan antara Persia
dan kerajaan di Nusantara demikian tinggi. Tidak mustahil di beberapa tempat
yang dikunjungi pedagang Persia, tinggal dan menetap pula orang-orang Persia.
Di tempat ini timbul juga kontak budaya antar dua budaya yang berbeda, dan
tidak mustahil ada juga penganut Islam Syi‘ah. Hal ini dapat dideteksi dari
adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan yang biasa dilakukan oleh kaum Syi‘ah;
Jadi, dapat dikatakan bahwa Penyebaran Islam di Nusantara
melalui saluran perdagangan, artinya pendakwah itu disamping membawa barang
dagangannya, mereka pada sore hati (setelah berjualan) atau di sela-sela waktu
senggang dimanfaatkan untuk menceritakan hal ihwal tentang agama Islam kepada
masyarakat di mana ia berdagang, walaupun secara sederhana. Dengan cara ini
ternyata dapat dipahami sehingga dari waktu ke waktu penganut Islam semakin
bertambah, meskipun penyebarannya ketika itu belum merata ke daerah-daerah di
Nusantara. Namun demikian, jumlah penganut semakin melonjat, bahkan bangsa kita
sendiri yang kemudian ikut menyebarkannya. Dengan demikian selain mencari
keuntungan ala kadarnya para pedagang itu juga mengajar masyarakat memeluk
agama Islam. Motif perluasan agama ini sepenuhnya murni untuk menyebarkan
ajaran Islam. Pada saat yang sama, penduduk pribumi yang bersedia masuk Islam
menjadi lebih mudah diajak bekerja sama.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Islam datang ke Indonesia ketika pengaruh Hindu dan
Buddha masih kuat. Kala itu, Majapahit masih menguasai sebagian besar wilayah
yang kini termasuk wilayah Indonesia. Masyarakat Indonesia berkenalan dengan
agama dan kebudayaan Islam melalui jalur perdagangan, sama seperti ketika
berkenalan dengan agama Hindu dan Buddha. Melalui aktifitas niaga, masyarakat
Indonesia yang sudah mengenal Hindu-Buddha lambat laun mengenal ajaran Islam.
Persebaran Islam ini pertama kali terjadi pada masyarakat pesisir laut yang
lebih terbuka terhadap budaya asing. Setelah itu, barulah Islam menyebar ke
daerah pedalaman dan pegunungan melalui aktifitas ekonomi, pendidikan, dan
politik.
Proses masuknya agama Islam ke Indonesia tidak
berlangsung secara revolusioner, cepat, dan tunggal, melainkan berevolusi,
lambat-laun, dan sangat beragam. Dan dalam perkembangan selanjutnya bermunculan
banyak kerajaan-kerajaan islam di Indonesia seperti samudera pasai dan
kerajaan-kerajaan islam lainnya.
Penyebaran
Islam di Nusantara melalui saluran perdagangan, artinya pendakwah itu disamping
membawa barang dagangannya, mereka pada sore hati (setelah berjualan) atau di
sela-sela waktu senggang dimanfaatkan untuk menceritakan hal ihwal tentang
agama Islam kepada masyarakat di mana ia berdagang, walaupun secara sederhana.
Dengan cara ini ternyata dapat dipahami sehingga dari waktu ke waktu penganut
Islam semakin bertambah, meskipun penyebarannya ketika itu belum merata ke
daerah-daerah di Nusantara.
B. Saran
Penulis sebagai pembuat makalah bukanlah makhluk yang
sempurna. Apabila ada kalimat yang tidak berkenan pada tempatnya. Penulis
berharap kritik dan saran dari Guru Pengajar dan rekan sekalian yang bersifat
membangun agar penulis bisa membuat makalah yang lebih baik pada waktu yang
akan datang.
DAFTAR
PUSTAKA
Anonim. 2012. Sejarah Masuknya Islam di
Nusantara Melalui Perdagangan, Sosial dan Pengajaran. http://anakanakalazhar.blogspot.co.id/2012/09/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html. Diakses tanggal 13 November 2015
pukul 17.00 Wita.
Gugus Putra. 2013. Masuknya Islam ke Indonesia
Khusus Melalui Jalur Pelayaran dan Perdagangan. http://sejarahislm.blogspot.co.id/p/sejarah-masuknya-islam-di-nusantara.html. Diakses
tanggal 13 November 2015 pukul 17.00 Wita.
Syahputra, Andre. 2014. Sejarah Masuknya Agama
Islam di Indonesia. http://andresyahputra2410.blogspot.co.id/2014/05/makalah-sejarah-masuknya-islam-di.html. Diakses
tanggal 13 November 2015 pukul 17.00 Wita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar